Sering kali kita mengulas tentang wayang kulit, tokoh2 wayang, 
filsafat dari wayang dan sebagainya. Tetapi kita sering lupa di balik 
semua itu, ada sosok yang tak kalah pentingnya dari semua “hidup” nya 
cerita wayang yang di lakonkan.
Seni pedalangan bagi masyarakat jawa khususnya dan bangsa Indonesia 
pada umumnya, merupakan salah satu dari sekian banyak kekayaan budaya 
warisan leluhur yang sangat tinggi nilainya.
Oleh sebab itu seni pedalangan disebut suatu kesenian tradisional adi
 luhung yang artinya sangat indah dan mempunyai nilai yang luhur. Seni 
pedalangan mengandung nilai hidup dan kehidupan luhur, yang dalam setiap
 akhir cerita (lakon)-nya selalu memenangkan kebaikan dan mengalahkan 
kejahatan. Hal itu mengandung suatu ajaran bahwa perbuatan baiklah yang 
akan unggul, sedangkan perbuatan jahat akan selalu menerima 
kekalahannya, sebagai contoh cerita Mahabharata dan Ramayana.
Telah banyak buku-buku yang ditulis oleh para ahli budaya bangsa 
Indonesia maupun bangsa asing tentang seni pedalangan dan bukan hanya 
menyangkut perihal yang ringan-ringan saja melainkan tentang intisari 
dan falsafahnya. Ada di antaranya yang menyatakan bahwa seni pedalangan 
itu tidak ada tolok bandinganya di dunia ini. Pendapat lain juga 
menyatakan bahwa seni pedalangan dengan keindahanya merupakan 
pencerminan kehalusan jiwa manusia dan tidak hanya merupakan suatu 
pertunjukan permainan untuk hiburan belaka. Pedalangan adalah suatu 
kegiatan di mana titik permasalahannya ialah terletak pada dalang yang 
dibantu oleh pengrawit,
swarawati atau pesinden, dan dengan kelengkapan sarana penyajian pedalangan lainya.
Arti Istilah Dalang
Beberapa ahli berpendapat bahwa arti istilah dalang dalam konteks 
banyak dalang adalah salah satu dari macam alat peralatan tradisional 
keraton Jawa. Prof. Winter menerangkan tentang dalang anteban ialah 
sebagai peneranganing laki-rabi atau tanda perkimpoian berupa emas.
Dalam buku Renungan Pertunjukan Wayang Kulit karya Dr. Seno 
Sastroamidjojo disebutkan bahwa kata dalang berasal dari kata Wedha dan 
Wulang. Adapun yang dimaksud Wedha adalah kitab suci agama Hindu yang 
memuat ajaran agama, peraturan hidup dan kehidupan manusia di dalam 
masyarakat, terutama yang menuju ke arah kesempurnaan hidup. Wulang 
berarti ajaran atau petuah, mulang berarti mengajar. Istilah dalang 
adalah seorang ahli yang mempunyai kejujuran dan kewajiban memberi 
pelajaran wejangan, uraian atau tafsiran tentang kitab suci Wedha 
beserta maknanya kepada masyarakat.
Dalang juga berasal dari kata dalung atau disebut blencong, yaitu 
alat penerang tradisional. Dengan adanya pendapat tersebut fungsi dalang
 di masyarakat adalah sebagai juru penerang.
Dalang berasal dari kata Angudal Piwulang. Angudal artinya 
menceritakan, membeberkan, mengucapkan dan menerangkan seluruh isi 
hatinya. Piwulang artinya petuah atau nasehat. Dengan pendapat tersebut 
maka dalang adalah seorang pendidik atau pembimbing masyarakat atau guru
 masyarakat.
Istilah dalang berasal dari kata Talang artinya saluran air pada 
atap. Jadi kata dalang disamakan dengan talang yang dapat diartikan 
sebagai saluran air. Dalam hal ini, dalang dimaksud sebagai penghubung 
atau penyalur antara dunia manusia dan dunia roh.
Peranan Dalang
Pada Prasasti Kawi (Kawi Oorkonde) yang disusun oleh. Cohan Stuart, 
telah dibicarakan tentang juru banyol dan Haringgit Banyol. Prasasti 
tersebut bertahun 762 Caka atau 840 Masehi. Keterangan selanjutnya 
menurut Kern yang terdapat pada Prasasti yang berangka tahun 782 Caka 
atau 860 Masehi menyebut-nyebut istilah Bharata. Istilah itu berarti 
bahwa Juru Bharatalah yang memimpin dan memainkan wayang.
Dalam Kepustakaan Jawa diterangkan oleh Kern dan RM Ng. Purbacaraka 
adanya widu sebagai model dalang. Widu adalah seorang yang pekerjaannya 
mengarang cerita dan pakaianya serba putih. Pada buku Wayang Asal-usul 
Filsafat dan Masa Depannya, karya Sri Mulyono menyebutkan bahwa dalang 
adalah Pandita.
Claire Holt menegaskan bahwa dalang adalah seorang pemimpin, penyusun
 naskah, juru bicara, seorang produser, sutradara, dan juga orang yang 
memainkan wayang.
Soedarsono telah mengutip pendapat G.A.J Hazeu bahwa dalang adalah 
seorang seniman pengembara sebab bila ia sedang mengadakan pementasan 
selalu berpindah-pindah tempat. Jelas kiranya bahwa fungsi dalang adalah
 sebagai guru, juru penerang dan juru hibur. Sedangkan pendidikan bidang
 spiritual (kerohanian) harus mengandung unsur-unsur estetis, etis, 
edukatif, kreatif, konsultatif, dan rekreatif.
Estetis, artinya garapan dalang harus memberikan kenikmatan kepada 
penontonnya serta memupuk dan mencerminkan rasa keindahan. Etis, artinya
 uraian dalang harus menjadi pupuk, pembinaan, dan bimbingan kepada 
masyarakat dalam tata susila yang berlaku dalam lingkungan hidup 
bermasyarakat. Edukatif, artinya dalang harus ikut mendidik dan mengajak
 masyarakat untuk menciptakan hal-hal yang baru tanpa mengubah keaslian 
seni pedalangan. Kreatif, artinya dalang harus membina dan mengajak 
masyarakat untuk menciptakan hal-hal yang baru. Konsultatif, artinya 
dalang harus memberi pengarahan dan penerangan kepada masyarakat yang 
masih
buta akan hal-hal yang sedang berlangsung. Rekreatif, artinya dalang 
memberi hiburan yang segar dan menjadi daya tarik masyarakat.
Klasifikasi Dalang
Apabila di lihat secara seksama unsur-unsur di atas, jelas tidak 
mungkin seluruhnya dimiliki oleh para dalang, tetapi mungkin 
masing-masing dalang mempunyai keahlian yang berbeda-beda pula.
Berdasarkan kecenderungan di atas, dalang dapat dibagi dalam 
pengelompokan yaitu Dalang Jati, Dalang Purba, Dalang Wasesa, Dalang 
Guna, Dalang Wikalpa.
Dalang Jati adalah dalang yang menitik beratkan garapannya kepada 
berbagai cerita yang dapat dipakai sebagai tauladan bagi masyarakat.
Dalang Purba adalah dalang sebagai penuntun dan pemberi wejangan pada
 masyarakat tentang hidup dan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat 
dengan menilai lakon-lakon yang digarapnya.
Dalang Wasesa adalah dalang yang dapat menguasai dan mengenal medan yang diinginkan penonton dalam membawakan lakonnya.
Dalang Guna adalah seorang dalang yang mementingkan jalinan ceritanya, yang sesuai dengan aturan seni pedalangan.
Dalang Wikalpa adalah dalang yang menyampaikan ilmu pengetahuan 
tentang keduniawian, sedangkan ceritanya masih berpegang teguh pada 
pakem pedalangan.
Berdasarkan ketrampilan dan kepandaiannya mendalang, dalang dapat 
dikelompokkan menjadi tiga. Tiga kelompok tersebut yaitu Dalang Utama, 
Dalang Madya, Dalang Purana.
Dalang Utama adalah dalang yang dalam pengalaman garapannya sudah 
sampai pada puncak garapan dan serba dapat. Dalang Madya adalah dalang 
yang berada dalam pertengahan kepandaian garapan. Dalang Purana adalah 
dalang yang berada dalam tahap belajar.
Dari tiga golongan yang besar tersebut dapat diperinci menjadi lima 
golongan, yaitu Dalang Banyol, Dalang Sabet, Dalang Antawacana, Dalang 
Suluk, Dalang Pakem.
Dalang Banyol adalah dalang yang berkepandaian lebih di dalam 
membanyol atau mengkreasi lawakan para panakawan atau pada tokoh-tokoh 
tertentu. Dalang Sabet adalah dalang yang pandai memainkan wayang, 
menarikan wayang dan memerankan wayang dengan gerakan-gerakan yang 
terampil dan cekatan sehingga seolah-olah hidup.
Dalang Antawacana adalah dalang yang pandai bercerita, kaya 
perbendaraan kata termasuk penerapan suara tiap-tiap wayang. Dalang 
Suluk adalah dalang yang pandai dalam membawakan suluk atau kakimpoi 
lainya serta bersuara pleng (senada dengan laras gamelan )seperti: 
sendhon, ada-ada atau bendhengan.
Dalang Pakem adalah dalang yang berpegang teguh pada cerita-cerita pakem yang telah digariskan dalam buku pakem pedalangan.
Tugas Dalang
Tugas dalang yang dimaksud dalam uraian ini adalah tugas dalam 
garapan pakeliran atau pergelaran wayang, baik dalang gaya lama atau 
zaman sekarang. Berikut ini akan diuraikan pengertian-pengertian istilah
 yang dapat dipergunakan sebagai pengetahuan dasar yang lazim disebut 
sanguning dalang. Seorang dalang yang baik dan pandai, mengerti dan 
terampil, berkewajiban menguasai renggep, menguasai antawacana, enges, 
greget, regu, sem, tutug, banyol, kawi radya, sabet, amardibasa, parama 
sastra, dodogan, keprakan, awicarita, amardawalagu.
Dalang harus menguasai renggep, artinya harus mempunyai rasa senang dalam mendalang dan tidak lelah atau tidak jenuh.
Dalang harus menguasai antawacana, artinya dalang harus dapat memberi
 suara yang khas dan khusus kepada masing-masing boneka wayang yang satu
 dengan yang lainnya.
Enges (nges), artinya garapan dalang harus dapat menimbulkan rasa 
haru atau pesona. Greget, artinya pelaksanaan pakeliran dengan 
penggambaran suasana yang hidup, bergairah, tegang, marah dan lain 
sebagainya.
Regu, artinya pelaksanaan pakeliran yang baik dan menarik tidak membosankan sehingga terasa keluhuran seni pedalangan.
Sem, artinya pelaksanaan pakeliran dengan penggambaran suasana penuh rasa romantis, sesuai dengan kebutuhan adegan.
Tutug (selesai), artinya percakapan dua wayang atau lebih dan atau 
cerita yang diucapkan dalang dalam adegan tanpa ada wayangnya, harus 
lengkap dan tidak diperpendek atau sebagian di hilangkan.
Banyol, artinya percakapan dan gerak wayang serta ucapan dalang dapat
 menjadikan penonton tertawa. Kawi radya, artinya dalang pada permulaan 
garapannya atau dalam menggarap adegan permulaan harus pandai 
menceritakan maksud dan jalan cerita yang akan digarapnya, antara lain 
dengan menggunakan kata-kata yang bersastra indah.
Sumber :  http://mo3slim.wordpress.com/2010/12/03/seni-pedalangan/
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar